BAB VI Pendidikan Pancasila
Daftar isi
- 1. Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
- 2. Menanya Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika
- 3. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
- 4. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika
- 5. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
- 6 Rangkuman tentang Pengertian dan Pentingnya Pancasila sebagai Sistem Etika
Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika
A. Pengertian EtikaPernahkah Anda mendengar istilah “etika”? Kalaupun Anda pernah mendengar istilah tersebut, tahukah Anda apa artinya? Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika sama maknanya dengan moral. Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang membahas tentang kriteria baik dan buruk (Bertens, 1997: 4--6). Etika pada umumnya dimengerti sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya itu kerap kali disebut moralitas atau etika (Sastrapratedja, 2002: 81).
Etika selalu terkait dengan masalah nilai sehingga perbincangan tentang etika, pada umumnya membicarakan tentang masalah nilai (baik atau buruk). Apakah yang Anda ketahui tentang nilai? Frondizi menerangkan bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak real karena nilai itu tidak ada untuk dirinya sendiri, nilai membutuhkan pengemban untuk berada (2001:7). Misalnya, nilai kejujuran melekat pada sikap dan kepribadian seseorang. Istilah nilai mengandung penggunaan yang kompleks dan bervariasi. Lacey menjelaskan bahwa paling tidak ada enam pengertian nilai dalam penggunaan secara umum, yaitu sebagai berikut:
- Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
- Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang.
- Suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas seseorang sebagai pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan diri.
- Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang baik di antara berbagai kemungkinan tindakan.
- Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika bertingkah laku bagi dirinya dan orang lain.
- Suatu ”objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang sekaligus membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian seseorang. Objek nilai mencakup karya seni, teori ilmiah, teknologi, objek yang disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri. (Lacey, 1999: 23).
Dengan demikian, nilai sebagaimana pengertian butir kelima (5), yaitu sebagai standar fundamental yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam bertindak, merupakan kriteria yang penting untuk mengukur karakter seseorang. Nilai sebagai standar fundamental ini pula yang diterapkan seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya dapat dikategorikan etis atau tidak.
Namun, tahukah Anda bahwa dalam bahasa pergaulan orang acap kali mencampuradukkan istilah “etika” dan “etiket”? Padahal, keduanya mengandung perbedaan makna yang hakiki. Etika berarti moral, sedangkan etiket lebih mengacu pada pengertian sopan santun, adat istiadat. Jika dilihat dari asal usul katanya, etika berasal dari kata “ethos”, sedangkan etiket berasal dari kata “etiquette”. Keduanya memang mengatur perilaku manusia secara normatif. tetapi Etika lebih mengacu ke filsafat moral yang merupakan kajian kritis tentang baik dan buruk, sedangkan etiket mengacu kepada cara yang tepat, yang diharapkan, serta ditentukan dalam suatu komunitas tertentu. Contoh, mencuri termasuk pelanggaran moral, tidak penting apakah dia mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri. Etiket, misalnya terkait dengan tata cara berperilaku dalam pergaulan, seperti makan dengan tangan kanan dianggap lebih sopan atau beretiket (Bertens, 1997: 9). Anda dipersilakan untuk mencermati gambar berikut dan diminta untuk membedakan persoalan etika, persoalan etiket, dan kode etik profesi.
B. Aliran-aliran Etika
Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi etika keutamaan, teleologis, deontologis. Etika keutamaan atau etika kebajikan adalah teori yang mempelajari keutamaan (virtue), artinya mempelajari tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih menekankan pada What should I be?, atau “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”. Beberapa watak yang terkandung dalam nilai keutamaan adalah baik hati, ksatriya, belas kasih, terus terang, bersahabat, murah hati, bernalar, percaya diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani, santun, jujur, terampil, adil, setia, ugahari (bersahaja), disiplin, mandiri, bijaksana, peduli, dan toleran (Mudhofir, 2009: 216--219). Orang yang memelihara metabolisme tubuh untuk mendapatkan kesehatan yang prima juga dapat dikatakan sebagai bentuk penguasaan diri dan disiplin, sebagaimana nasihat Hippocrates berikut ini.
All parts of the body which have a function, if use moderation and exercise in labours in which each is accustomed, become thereby healthy, well-developed and age slowly, but if unused and left idle they become liable to disease, defective growth, and age quickly
Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan dilawankan dengan kewajiban. Seseorang yang mungkin berniat sangat baik atau mengikuti asasasas moral yang tertinggi, akan tetapi hasil tindakan moral itu berbahaya atau jelek, maka tindakan tersebut dinilai secara moral sebagai tindakan yang tidak etis. Etika teleologis ini menganggap nilai moral dari suatu tindakan dinilai berdasarkan pada efektivitas tindakan tersebut dalam mencapai tujuannya. Etika teleologis ini juga menganggap bahwa di dalamnya kebenaran dan kesalahan suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang diinginkan (Mudhofir, 2009: 214). Aliran-aliran etika teleologis, meliputi eudaemonisme, hedonisme, utilitarianisme.
Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan kewajiban moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan tujuan atau akibat. Kewajiban moral bertalian dengan kewajiban yang seharusnya, kebenaran moral atau kelayakan, kepatutan. Kewajiban moral mengandung kemestian untuk melakukan tindakan. Pertimbangan tentang kewajiban moral lebih diutamakan daripada pertimbangan tentang nilai moral. Konsepkonsep nilai moral (yang baik) dapat didefinisikan berdasarkan pada kewajiban moral atau kelayakan rasional yang tidak dapat diturunkan dalam arti tidak dapat dianalisis (Mudhofir, 2009: 141).
Aliran Etika dan Karakteristiknya
Aliran | Orientasi | Watak nilai | Keterangan |
---|---|---|---|
Etika Keutamaan | Keutamaan atau kebajikan | Disiplin, kejujuran, belas kasih, murah hati, dan seterusnya | Moralitas yang didasarkan pada agama kebanyakan menganut etika keutamaan. |
Teleologis | Konsekuensi atau akibat | Kebenaran dan kesalahan didasarkan pada tujuan akhir | Aliran etika yang berorientasi pada konsekuensi atau hasil seperti: Eudaemonisme, Hedonisme, Utilitarianisme. |
Deontologis | Kewajiban atau keharusan | Kelayakan, kepatutan, kepantasan | Pandangan etika yang mementingkan kewajiban seperti halnya pemikiran Immanuel Kant yang terkenal dengan sikap imperatif kategoris, perbuatan baik dilakukan tanpa pamrih. |
C. Etika Pancasila
Setelah Anda mendapat gambaran tentang pengertian etika dan aliran etika, maka selanjutnya perlu dirumuskan pengertian etika Pancasila, dan aliran yang lebih sesuai dengan etika Pancasila. Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein), cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan orang lain.
Etika Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika kebajikan, meskipun corak kedua mainstream yang lain, deontologis dan teleologis termuat pula di dalamnya. Namun, etika keutamaan lebih dominan karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan artinya melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh kehendak yang tertuju pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal – rasa – kehendak yang berupa kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan memelihara nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius. Kesederhaaan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal kenikmatan. Keteguhan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam menghindari penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib kepada diri sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah menjadi haknya (Mudhofir, 2009: 386).
Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut. Pertama, banyaknya kasus korupsi yang melanda negara Indonesia sehingga dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga dapat merusak semangat toleransidalam kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam disintegrasi bangsa. Ketiga, masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara, seperti: kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, pada tahun 2013 yang lalu. Keempat, kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin masih menandai kehidupan masyarakat Indonesia. Kelima, ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia, seperti putusan bebas bersyarat atas pengedar narkoba asal Australia Schapell Corby. Keenam, banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan benar, seperti kasus penggelapan pajak oleh perusahaan, kasus panama papers yang menghindari atau mengurangi pembayaran pajak. Kesemuanya itu memperlihatkan pentingnya dan mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila sebagai sistem etika karena dapat menjadi tuntunan atau sebagai Leading Principle bagi warga negara untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Etika Pancasila diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebab berisikan tuntunan nilai-nilai moral yang hidup. Namun, diperlukan kajian kritis-rasional terhadap nilai-nilai moral yang hidup tersebut agar tidak terjebak ke dalam pandangan yang bersifat mitos. Misalnya, korupsi terjadi lantaran seorang pejabat diberi hadiah oleh seseorang yang memerlukan bantuan atau jasa si pejabat agar urusannya lancar. Si pejabat menerima hadiah tanpa memikirkan alasan orang tersebut memberikan hadiah. Demikian pula halnya dengan masyarakat yang menerima sesuatu dalam konteks politik sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk suap, seperti contoh berikut:
Menanya Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika
Anda perlu mengetahui bahwa Pancasila sebagai sistem etika tidaklah muncul begitu saja. Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur sistem penyelenggaraan negara. Anda dapat bayangkan apabila dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara tidak ada sistem etika yang menjadi guidance atau tuntunan bagi para penyelenggara negara, niscaya negara akan hancur. Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat globalisasi sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral, antara lain: penyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Kedua, korupsi akan bersimaharajalela karena para penyelenggara negara tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak, pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan buruk (bad). Archie Bahm dalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk itu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm, 1998: 58).
Ketiga, kurangnya rasa perlu berkontribusi dalam pembangunan melalui pembayaran pajak. Hal tersebut terlihat dari kepatuhan pajak yang masih rendah, padahal peranan pajak dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam membiayai APBN. Pancasila sebagai sistem etika akan dapat mengarahkan wajib pajak untuk secara sadar memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik. Dengan kesadaran pajak yang tinggi maka program pembangunan yang tertuang dalam APBN akan dapat dijalankan dengan sumber penerimaan dari sektor perpajakan. Berikut ini diperlihatkan gambar tentang iklan layanan masyarakat tentang pendidikan yang dibiayai dengan pajak.
Keempat, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara di Indonesia ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang terhadap hak pihak lain. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di berbagai media, seperti penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT), penelantaran anak-anak yatim oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain-lain. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai185 nilai Pancasila sebagai sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, di samping diperlukan sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem etika ke dalam peraturan perundang-undangan tentang HAM (Lihat Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Kelima, kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib generasi yang akan datang, global warming, perubahan cuaca, dan lain sebagainya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum mendapat tempat yang tepat di hati masyarakat. Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung memutuskan tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang sendiri, keuntungan sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Contoh yang paling jelas adalah pembakaran hutan di Riau sehingga menimbulkan kabut asap. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang menindak tegas para pelaku pembakaran hutan, baik pribadi maupun perusahaan yang terlibat. Selain itu, penggiat lingkungan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara juga perlu mendapat penghargaan seperti gambar berikut.
Lingkungan hidup yang nyaman melahirkan generasi muda yang sehat dan bersih sehingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi lebih bermakna sebagaimana tercermin dalam gambar berikut.
Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
Sumber historis
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila belum ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah terdapat pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Pada zaman Orde Baru, Pancasila sebagai sistem etika disosialisasikan melalui penataran P-4 dan diinstitusionalkan dalam wadah BP-7. Ada banyak butir Pancasila yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-7. Untuk memudahkan pemahaman tentang butir-butir sila Pancasila dapat dilihat pada tabel berikut (Soeprapto, 1993: 53-55).
SILA PANCASILA | CARA PENGAMALAN |
---|---|
Ketuhanan Yang Maha Esa | a. Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. b. Hormat menghormati dan bekerja sama antar para pemeluk agama dan para penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. |
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab | a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban asasi antar sesama manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. b. Saling mencintai sesama manusia. c. Mengembangkan sikap tenggang rasa. d. Tidak semena-mena terhadap orang lain. e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. g. Berani membela kebenaran dan keadilan. h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia. Oleh karena itu, dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain. |
Persatuan Indonesia | a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, keselamatan bangsa dan bernegara di atas kepentingan pribadi atau golongan. b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. c. Cinta tanah air dan bangsa. d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia. e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhineka tunggal ika. |
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawara-tan/Perwakilan | a. Sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. e. Dengan itikad yang baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil putusan musyawarah. f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. g. Putusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. |
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia | a. Mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. b. Bersikap adil. c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. d. Menghormati hak-hak orang lain. e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain. f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain. g. Tidak bersifat boros. h. Tidak bergaya hidup mewah. i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum. j. Suka bekerja keras. k. Menghargai hasil karya orang lain. l. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. |
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hirukpikuk perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik. Salah satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di berbagai kalangan penyelenggara negara.
Sumber Sosiologis
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang Minangkabau dalam hal bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat”. Masih banyak lagi mutiara kearifan lokal yang bertebaran di bumi Indonesia ini sehingga memerlukan penelitian yang mendalam.
Sumber politis
Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma dasar (Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum itu suatu norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut (Kaelan, 2011: 487). Pancasila sebagai sistem etika merupakan norma tertinggi (Grundnorm) yang sifatnya abstrak, sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang ada di bawahnya bersifat konkrit.
Etika politik mengatur masalah perilaku politikus, berhubungan juga dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan. Dimensi sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan yang mendasari institusi-institusi sosial. Dimensi aksi politik berkaitan dengan pelaku pemegang peran sebagai pihak yang menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan politik dinamakan rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan (Haryatmoko, 2003: 25 – 28).
Hubungan antara dimensi tujuan, sarana, dan aksi politik dapat digambarkan sebagai berikut (Haryatmoko, 2003: 26).
Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika
Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Sistem Etika
Beberapa argumen tentang dinamika Pancasila sebagai sistem etika dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, pada zaman Orde Lama, pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi yang diikuti banyak partai politik, tetapi dimenangkan empat partai politik, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti sistem etika Pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilihan umum pada zaman Orde Lama dianggap terlalu liberal karena pemerintahan Soekarno menganut sistem demokrasi terpimpin, yang cenderung otoriter.
Kedua, pada zaman Orde Baru sistem etika Pancasila diletakkan dalam bentuk penataran P-4. Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia yang berperilaku dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Manusia Indonesia seutuhnya dalam pandangan Orde Baru, artinya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani sekaligus makhluk jasmani, dan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki emosi yang memiliki pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan, dan tanggapan emosional dari manusia lain dalam kebersamaan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial, memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera. Tuntutan tersebut hanya dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itulah, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial harus dikembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang (Martodihardjo, 1993: 171).
Manusia Indonesia seutuhnya (adalah makhluk mono-pluralis yang terdiri atas susunan kodrat: jiwa dan raga; Kedudukan kodrat: makhluk Tuhan dan makhluk berdiri sendiri; sifat kodrat: makhluk sosial dan makhluk individual. Keenam unsur manusia tersebut saling melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Manusia Indonesia menjadi pusat persoalan, pokok dan pelaku utama dalam budaya Pancasila. (Notonagoro dalam Asdi, 2003: 17-18).
Ketiga, sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi. Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta machiavelisme (menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan). Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah Mada dalam sambutan pembukaan Simposium Nasional Pengembangan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasional (2006: xiv) mengatakan sebagai berikut:
Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan semakin hanyut dalam arus konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan karena bangsa Indonesia tidak mengembangkan blueprint yang berakar pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Argumen tentang Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika
Apakah Anda mengetahui bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem etika apa saja yang muncul dalam kehidupan bangsa Indonesia? Halhal berikut ini dapat menggambarkan beberapa bentuk tantangan terhadap sistem etika Pancasila.
Pertama, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Lama berupa sikap otoriter dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin dalam penyelenggaraan negara yang menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Hal tersebut tidak sesuai dengan sistem etika Pancasila yang lebih menonjolkan semangat musyawarah untuk mufakat.
Kedua, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Baru terkait dengan masalah NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan penyelenggaraan negara. Hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosial karena nepotisme, kolusi, dan korupsi hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu.
Ketiga, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada era Reformasi berupa eforia kebebasan berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral. Misalnya, munculnya anarkisme yang memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi.
Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut:
Pertama, hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap perilaku warga negara harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma agama. Setiap prinsip moral yang berlandaskan pada norma agama, maka prinsip tersebut memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya.
Kedua, hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan actus homini, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan kemanusiaan yang mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara dan sikap yang adil dan beradab sehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan antarmakhluk yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan.
Ketiga, hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada semangat kebersamaan, solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.
Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat. Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.
Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan perwujudan dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata (deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih menonjolkan keutamaan (virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan itu sendiri.
Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem etika meliputi hal-hal sebagai berikut: Pertama, meletakkan sila-sila Pancasila sebagai sistem etika berarti menempatkan Pancasila sebagai sumber moral dan inspirasi bagi penentu sikap, tindakan, dan keputusan yang diambil setiap warga negara. Kedua, Pancasila sebagai sistem etika memberi guidance bagi setiap warga negara sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan baik lokal, nasional, regional, maupun internasional. Ketiga, Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara sehingga tidak keluar dari semangat negara kebangsaan yang berjiwa Pancasilais. Keempat, Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk menyaring pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai dampak globalisasi yang memengaruhi pemikiran warga negara.
Rangkuman tentang Pengertian dan Pentingnya Pancasila sebagai Sistem Etika
Pancasila sebagai sistem etika adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari silasila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, di dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Pentingnya pancasia sebagai sistem etika bagi bangsa Indonesia ialah menjadi rambu normatif untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Dengan demikian, pelanggaran dalam kehidupan bernegara, seperti korupsi (penyalahgunaan kekuasaan) dapat diminimalkan.
0 Response to "BAB VI Pendidikan Pancasila"
Post a Comment
√ Komentar anda adalah motivasi kami!
√ Untuk menyisipkan code gunakan
<i rel="code">Tuliskan Code</i>
√ Untuk menyisipkan gambar gunakan
<i rel="image">URL Gambar</i>
√ Untuk menyisipkan catatan gunakan
<b rel="quote">Tuliskan Catatan Anda</b>
√ Centang Notify me untuk mendapatkan notifikasi balasan komentar melalui Email