BAB III Pendidikan Pancasila
Daftar isi
- 1. Menelusuri Konsep Negara, Tujuan Negara dan Urgensi Dasar Negara
- 2. Menanya Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai Dasar Negara
- 3. Menggali Sumber Yuridis, Historis, Sosiologis, dan Politis tentang Pancasila sebagai Dasar Negara
- 4. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Dasar Negara
- 5. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara
- 6. Rangkuman tentang Makna dan Pentingnya Pancasila sebagai Dasar Negara
Menelusuri Konsep Negara, Tujuan Negara dan Urgensi Dasar Negara
1. Menelusuri Konsep Negara
Apakah Anda pernah mendengar istilah Homo Faber (makhluk yang menggunakan teknologi), Homo Socius (makhluk bermasyarakat), Homo Economicus (makhluk ekonomi), dan istilah Zoon Politicon atau makhluk politik? Istilah-istilah tersebut merupakan predikat yang melekat pada eksistensi manusia. Selain itu, predikat-predikat tersebut mengisyaratkan bahwa interaksi antarmanusia dapat dimotivasi oleh sudut pandang, kebutuhan, atau kepentingan (interest) masing-masing. Akibatnya, pergaulan manusia dapat bersamaan (sejalan), berbeda, atau bertentangan satu sama lain, bahkan meminjam istilah Thomas Hobbes manusia yang satu dapat menjadi serigala bagi yang lain (homo homini lupus). Oleh karena itu, agar tercipta kondisi yang harmonis dan tertib dalam memenuhi kebutuhannya, dalam memperjuangkan kesejahteraannya, manusia membutuhkan negara. Apakah negara itu? Menurut Diponolo (1975: 23-25) negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan tata tertib atas suatu umat di suatu daerah tertentu. Lebih lanjut, Diponolo mengemukakan beberapa definisi negara yang dalam hal ini penulis paparkan secara skematis.
Sejalan dengan pengertian negara tersebut, Diponolo menyimpulkan 3 (tiga) unsur yang menjadi syarat mutlak bagi adanya negara yaitu:
- Unsur tempat, atau daerah, wilayah atau territoir
- Unsur manusia, atau umat (baca: masyarakat), rakyat atau bangsa
- Unsur organisasi, atau tata kerjasama, atau tata pemerintahan.
Ketiga unsur tersebut lazim dinyatakan sebagai unsur konstitutif. Selain unsur konstitutif ada juga unsur lain, yaitu unsur deklaratif, dalam hal ini pengakuan dari negara lain.
Berbicara tentang negara dari perspektif tata negara paling tidak dapat dilihat dari 2 (dua) pendekatan, yaitu:
- Negara dalam keadaan diam, yang fokus pengkajiannya terutama kepada bentuk dan struktur organisasi negara
- Negara dalam keadaan bergerak, yang fokus pengkajiannya terutama kepada mekanisme penyelenggaraan lembaga-lembaga negara, baik di pusat maupun di daerah. Pendekatan ini juga meliputi bentuk pemerintahan seperti apa yang dianggap paling tepat untuk sebuah negara.
Bentuk negara, sistem pemerintahan, dan tujuan negara seperti apa yang ingin diwujudkan, serta bagaimana jalan/cara mewujudkan tujuan negara tersebut, akan ditentukan oleh dasar negara yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, dasar negara akan menentukan bentuk negara, bentuk dan sistem pemerintahan, dan tujuan negara yang ingin dicapai, serta jalan apa yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan suatu negara.
Agar pemahaman Anda lebih komprehensif, di bawah ini dikemukakan contoh pengaruh dasar negara terhadap bentuk negara. Konsekuensi Pancasila sebagai dasar negara bagi negara Republik Indonesia, antara lain: Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik (Pasal 1 UUD Negara Republik Indonesia 1945). Pasal tersebut menjelaskan hubungan Pancasila tepatnya sila ketiga dengan bentuk negara yang dianut oleh Indonesia, yaitu sebagai negara kesatuan bukan sebagai negara serikat. Lebih lanjut, pasal tersebut menegaskan bahwa Indonesia menganut bentuk negara republik bukan despot (tuan rumah) atau absolutisme (pemerintahan yang sewenang-wenang). Konsep negara republik sejalan dengan sila kedua dan keempat Pancasila, yaitu negara hukum yang demokratis. Demikian pula dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal tersebut menegaskan bahwa negara Republik Indonesia menganut demokrasi konstitusional bukan demokrasi rakyat seperti yang terdapat pada konsep negara-negara komunis. Di sisi lain, pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945, ditegaskan bahwa, “negara Indonesia adalah negara hukum”. Prinsip tersebut mencerminkan bahwa negara Indonesia sejalan dengan sila kedua Pancasila. Hal tersebut ditegaskan oleh Atmordjo (2009: 25) bahwa : “konsep negara hukum Indonesia merupakan perpaduan 3 (tiga) unsur, yaitu Pancasila, hukum nasional, dan tujuan negara”.
Apabila dipelajari secara seksama uraian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat satu prinsip penting yang dianut, yaitu Indonesia mengadopsi konsep negara modern yang ideal sebagaimana dikemukakan oleh CarlSchmidt, yaitu demokratischen Rechtsstaat (Wahjono dalam Oesman dan Alfian, 1993: 100).
2. Menelusuri Konsep Tujuan Negara
Para ahli berpendapat bahwa amuba atau binatang bersel satu pun hidupnya memiliki tujuan, apalagi manusia pasti memiliki tujuan hidup. Demikian pula, suatu bangsa mendirikan negara, pasti ada tujuan untuk apa negara itu didirikan. Secara teoretik, ada beberapa tujuan negara diantaranya dapat digambarkan secara skematik sebagai berikut.
Skema di atas menggambarkan intisari 5 teori tujuan negara, yang disarikan dari Diponolo (1975: 112-156), kemudian berikut ini disajikan uraian tujuan negara dalam bentuk tabel, sebagai berikut:
Tabel III.1 Teori Kekuatan dan Kekuasaan sebagai Tujuan Negara
No | Nama Tokoh | Pandangan |
---|---|---|
1. | Shan Yang (Pujangga Filsuf Cina, 4-3 SM) | Satu-satunya tujuan bagi raja ialah membuat negara kuat dan berkuasa. Hal ini hanya mungkin dicapai dengan memiliki tentara yang besar dan kuat. |
2. | Nicollo Machiavelli (1469-1527) | Raja harus tahu bahwa ia senantiasa dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mengintai kelemahan dan menunggu kesempatan menerkam atau merebut kedudukannya, maka raja haruslah menyusun dan menambah kekuatan terus menerus. |
3. | Fridriech Nietzsche ( 1844-1900) | Tujuan hidup umat manusia ialah penjelmaan tokoh pilihan dari mereka yang paling sempurna atau maha manusia (ubermensch). Hidup itu adalah serba perkembangan, serba memenangkan dan menaklukan, serba meningkat terus ke atas. |
4. | Anda dipersilakan untuk mencari tokoh lain yang mengemukakan teori tujuan negara dalam konteks kekuatan dan kekuasaan |
Tabel III.2 Teori Kepastian Hidup, Keamanan, dan Ketertiban sebagai Tujuan Negara
No | Nama Tokoh | Pandangan |
---|---|---|
1. | Dante Alleghieri (Filsuf Italia, abad 13- 14M) | Manusia hanya dapat menjalankan kewajiban dengan baik serta mencapai tujuan yang tinggi di dalam keadaan damai. Oleh karena itu, perdamaian menjadi kepentingan setiap orang. Raja haruslah seorang yang paling baik kemauannya dan paling besar kemampuannya karena ia harus dapat mewujudkan keadilan di antara umat manusia. |
2. | Thomas Hobbes (1588-1679) | Perdamaian adalah unsur yang menjadi hakikat tujuan negara. Demi keamanan dan ketertiban, maka manusia melepaskan dan melebur kemerdekaannya ke dalam kemerdekaan umum, yaitu negara. |
3. | Theodore Roosevelt (Presiden Amerika Serikat) | In case of a choise between order and justice I will be on the side of order (apabila saya harus memilih antara ketertiban dan keadilan, maka saya akan memilih ketertiban). |
4. | Anda dipersilakan untuk mencari tokoh lain yang mengemukakan teori tujuan negara dalam konteks kepastian hidup, keamanan, dan ketertiban. |
Tabel III.3 Kemerdekaan sebagai Tujuan Negara
No | Nama Tokoh | Pandangan |
---|---|---|
1. | Herbert Spencer (1820-1903) | Negara itu tak lain adalah alat bagi manusia untuk memperoleh lebih banyak kemerdekaan daripada yang dimilikinya sebelum adanya negara. Jadi, negara itu adalah alat untuk menegakkan kemerdekaan. |
2. | Immanuel Kant (1724-1804) | Kemerdekaan itu menjadi tujuan negara. Terjadinya negara itu adalah untuk membangun dan menyelenggarakan hukum, sedangkan hukum adalah untuk menjamin kemerdekaan manusia. Hukum dan kemerdekaan tidak dapat dipisahkan. |
3. | Hegel (Refleksi absolut, 1770- 1831) | Negara adalah suatu kenyataan yang sempurna, yang merupakan keutuhan daripada perwujudan kemerdekaan manusia. Hanya dengan negara dan dalam negara manusia dapat benar-benar memperoleh kepribadian dan kemerdekaannya. |
4. | Anda dipersilakan untuk mencari tokoh lain yang mengemukakan teori tujuan negara dalam konteks kemerdekaan |
Tabel III.4 Teori Keadilan sebagai Tujuan Negara
No | Nama Tokoh | Pandangan |
---|---|---|
1. | Aristoteles (384-322 SM) | Negara seharusnya menjamin kebaikan hidup para warga negaranya. Kebaikan hidup inilah tujuan luhur negara. Hal ini hanya dapat dicapai dengan keadilan yang harus menjadi dasarnya setiap pemerintahan. Keadilan ini harus dinyatakan dengan undang-undang. |
2. | Thomas Aquinas (1225-1274) | Kekuasaan dan hukum negara itu hanya berlaku selama ia mewujudkan keadilan, untuk kebaikan bersama umat manusia, seperti yang dikehendaki Tuhan. |
3. | Immanuel Kant (1724-1804) | Terjadinya negara itu dari kenyataan bahwa manusia demi kepentingan sendiri telah membatasi dirinya dalam suatu kontrak sosial yang menumbuhkan hukum. Hukum adalah hasil daripada akal manusia untuk mempertemukan dan menyelenggarakan kepentingan bersama. Hukum keadilan semesta alam menghendaki agar manusia berbuat terhadap orang lain seperti yang ia harap orang lain berbuat terhadap dirinya. |
4. | Anda dipersilakan untuk mencari tokoh lain yang mengemukakan teori tujuan negara dalam konteks keadilan. |
Tabel III.5 Teori Kesejahteraan dan Kebahagiaan sebagai Tujuan Negara
No | Nama Tokoh | Pandangan |
---|---|---|
1. | Mohammad Hatta (1902-1980) | "Bohonglah segala politik jika tidak menuju kepada kemakmuran rakyat”. |
2. | Immanuel Kant (1724-1804) | Tujuan politik ialah mengatur agar setiap orang dapat puas dengan keadaannya. Hal ini menyangkut terpenuhinya kebutuhan yang bersifat bendawi dan terwujudnya kebahagiaan yang bersifat kerohanian. |
3. | Anda dipersilakan untuk mencari tokoh lain yang mengemukakan teori tujuan negara dalam konteks kesejahteraan. |
Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap orang mungkin sama, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan, tetapi cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda bahkan terkadang saling bertentangan. Jalan yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut kalau disederhanakan dapat digolongkan ke dalam 2 aliran, yaitu:
- Aliran liberal individualis Aliran ini berpendapat bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan harus dicapai dengan politik dan sistem ekonomi liberal melalui persaingan bebas.
- Aliran kolektivis atau sosialis Aliran ini berpandangan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia hanya dapat diwujudkan melalui politik dan sistem ekonomi terpimpin/totaliter.
Pada umumnya, tujuan suatu negara termaktub dalam Undang-Undang Dasar atau konstitusi negara tersebut. Sebagai perbandingan, berikut ini adalah tujuan negara Amerika Serikat, Indonesia dan India.
Tujuan negara Republik Indonesia apabila disederhanakan dapat dibagi 2 (dua), yaitu mewujudkan kesejahteraan umum dan menjamin keamanan seluruh bangsa dan seluruh wilayah negara. Oleh karena itu, pendekatan dalam mewujudkan tujuan negara tersebut dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan yaitu:
- Pendekatan kesejahteraan (prosperity approach)
- Pendekatan keamanan (security approach)
3. Menelusuri Konsep dan Urgensi Dasar Negara
Secara etimologis, istilah dasar negara maknanya identik dengan istilah grundnorm (norma dasar), rechtsidee (cita hukum), staatsidee (cita negara), philosophische grondslag (dasar filsafat negara). Banyaknya istilah Dasar Negara dalam kosa kata bahasa asing menunjukkan bahwa dasar negara bersifat universal, dalam arti setiap negara memiliki dasar negara.
Secara terminologis atau secara istilah, dasar negara dapat diartikan sebagai landasan dan sumber dalam membentuk dan menyelenggarakan negara. Dasar negara juga dapat diartikan sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Secara teoretik, istilah dasar negara, mengacu kepada pendapat Hans Kelsen, disebut a basic norm atau Grundnorm (Kelsen, 1970: 8). Norma dasar ini merupakan norma tertinggi yang mendasari kesatuan-kesatuan sistem norma dalam masyarakat yang teratur termasuk di dalamnya negara yang sifatnya tidak berubah (Attamimi dalam Oesman dan Alfian, 1993: 74). Dengan demikian, kedudukan dasar negara berbeda dengan kedudukan peraturan perundang-undangan karena dasar negara merupakan sumber dari peraturan perundang-undangan. Implikasi dari kedudukan dasar negara ini, maka dasar negara bersifat permanen sementara peraturan perundang-undangan bersifat fleksibel dalam arti dapat diubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Hans Nawiasky menjelaskan bahwa dalam suatu negara yang merupakan kesatuan tatanan hukum, terdapat suatu kaidah tertinggi, yang kedudukannya lebih tinggi daripada Undang-Undang Dasar. Kaidah tertinggi dalam tatanan kesatuan hukum dalam negara disebut staatsfundamentalnorm, yang untuk Indonesia berupa Pancasila (Riyanto dalam Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2013: 93-94). Dalam pandangan yang lain, pengembangan teori dasar negara dapat diambil dari pidato Mr. Soepomo. Dalam penjelasannya, kata “cita negara” merupakan terjemahan dari kata “Staatsidee” yang terdapat dalam kepustakaan Jerman dan Belanda. Kata asing itu menjadi terkenal setelah beliau menyampaikan pidatonya dalam rapat pleno Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 31 Mei 1945. Sebagai catatan, Soepomo menerjemahkan “Staatsidee” dengan “dasar pengertian negara” atau “aliran pikiran negara”. Memang, dalam bahasa asing sendiri kata itu tidak mudah memperoleh uraian pengertiannya. J. Oppenheim (1849-1924), ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara di Groningen Belanda, mengemukakan dalam pidato pengukuhannya yang kedua (1893) sebagai guru besar mengemukakan bahwa “staatsidee” dapat dilukiskan sebagai “hakikat yang paling dalam dari negara” (de staats diapse wezen), sebagai “kekuatan yang membentuk negara-negara (de staten vermonde kracht) (Attamimi dalam Soeprapto, Bahar dan Arianto, 1995: 121).
Dalam karyanya yang berjudul Nomoi (The Law), Plato (Yusuf, 2009) berpendapat bahwa “suatu negara sebaiknya berdasarkan atas hukum dalam segala hal”. Senada dengan Plato, Aristoteles memberikan pandangannya, bahwa “suatu negara yang baik adalah negara yang diperintahkan oleh konstitusi dan kedaulatan hukum”. Sebagai suatu ketentuan peraturan yang mengikat, norma hukum memiliki sifat yang berjenjang atau bertingkat. Artinya, norma hukum akan berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan bersumber lagi pada norma hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma dasar/norma yang tertinggi dalam suatu negara yang disebut dengan grundnorm.
Dengan demikian, dasar negara merupakan suatu norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai cita hukum (rechtsidee), baik tertulis maupun tidak tertulis dalam suatu negara. Cita hukum ini akan mengarahkan hukum pada cita-cita bersama dari masyarakatnya. Cita-cita ini mencerminkan kesamaankesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat (Yusuf, 2009). Terdapat ilustrasi yang dapat mendeskripsikan tata urutan perundanganundangan di Indonesia sebagaimana Gambar III.3.
Prinsip bahwa norma hukum itu bertingkat dan berjenjang, termanifestasikan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tercermin pada pasal 7 yang menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Menanya Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai Dasar Negara
Setiap orang pasti bertanya-tanya termasuk Anda, benarkah Pancasila itu diperlukan sebagai dasar negara? Apa buktinya jika Pancasila itu perlu dijadikan dasar negara Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita akan mulai dari analogi terlebih dahulu. Apakah Anda mempunyai kendaraan? Apa yang harus Anda lakukan jika tidak ada jalan yang dapat dilalui? Ya, Pancasila seperti jalan aspal yang memberikan arah kemana kendaraan itu dapat dibawa tanpa ada kerusakan. Berbeda dengan jalan yang tidak diaspal, meskipun kendaraan dapat berjalan tetapi dalam waktu yang singkat kendaraan Anda akan cepat rusak.
Oleh karena itu, Pancasila merupakan pandangan hidup dan kepribadian bangsa yang nilai-nilainya bersifat nasional yang mendasari kebudayaan bangsa, maka nilai-nilai tersebut merupakan perwujudan dari aspirasi (citacita hidup bangsa) (Muzayin, 1992: 16).
Dengan Pancasila, perpecahan bangsa Indonesia akan mudah dihindari karena pandangan Pancasila bertumpu pada pola hidup yang berdasarkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sehingga perbedaan apapun yang ada dapat dibina menjadi suatu pola kehidupan yang dinamis, penuh dengan keanekaragaman yang berada dalam satu keseragaman yang kokoh (Muzayin, 1992: 16).
Dengan peraturan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, maka perasaan adil dan tidak adil dapat diminimalkan. Hal tersebut dikarenakan Pancasila sebagai dasar negara menaungi dan memberikan gambaran yang jelas tentang peraturan tersebut berlaku untuk semua tanpa ada perlakuan diskriminatif bagi siapapun. Oleh karena itulah, Pancasila memberikan arah tentang hukum harus menciptakan keadaan negara yang lebih baik dengan berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Dengan demikian, diharapkan warga negara dapat memahami dan melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari kegiatankegiatan sederhana yang menggambarkan hadirnya nilai-nilai Pancasila tersebut dalam masyarakat. Misalnya saja, masyarakat selalu bahu-membahu dalam ikut berpartisipasi membersihkan lingkungan, saling menolong, dan menjaga satu sama lain. Hal tersebut mengindikasikan bahwa nilai-nilai Pancasila telah terinternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Lalu, bagaimana dengan pemerintah? Sebagai penyelenggara negara, mereka seharusnya lebih mengerti dan memahami dalam pengaktualisasian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan. Mereka harus menjadi panutan bagi warga negara yang lain, agar masyarakat luas meyakini bahwa Pancasila itu hadir dalam setiap hembusan nafas bangsa ini. Demikian pula halnya dengan petugas pajak yang bertanggung jawab mengemban amanat untuk menghimpun dana bagi keberlangsungan pembangunan, mereka harus mampu menjadi panutan bagi warga negara lain, terutama dalam hal kejujuran sebagai pengejawantahan nilai-nilai Pancasila dari nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Nilai-nilainya hadir bukan hanya bagi mereka yang ada di pedesaan dengan keterbatasannya, melainkan juga orang-orang yang ada dalam pemerintahan yang notabene sebagai pemangku jabatan yang berwenang merumuskan kebijakan atas nama bersama. Hal tersebut sejalan dengan pokok pikiran ke-empat yang menuntut konsekuensi logis, yaitu Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh citacita moral rakyat yang luhur. Pokok pikiran ini juga mengandung pengertian takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pokok pikiran kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga mengandung maksud menjunjung tinggi hak asasi manusia yang luhur dan berbudi pekerti kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran ke-empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan asas moral bangsa dan negara (Bakry, 2010).
Dengan Pancasila, perpecahan bangsa Indonesia akan mudah dihindari karena pandangan Pancasila bertumpu pada pola hidup yang berdasarkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sehingga perbedaan apapun yang ada dapat dibina menjadi suatu pola kehidupan yang dinamis, penuh dengan keanekaragaman yang berada dalam satu keseragaman yang kokoh (Muzayin, 1992: 16).
Dengan peraturan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, maka perasaan adil dan tidak adil dapat diminimalkan. Hal tersebut dikarenakan Pancasila sebagai dasar negara menaungi dan memberikan gambaran yang jelas tentang peraturan tersebut berlaku untuk semua tanpa ada perlakuan diskriminatif bagi siapapun. Oleh karena itulah, Pancasila memberikan arah tentang hukum harus menciptakan keadaan negara yang lebih baik dengan berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Dengan demikian, diharapkan warga negara dapat memahami dan melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari kegiatankegiatan sederhana yang menggambarkan hadirnya nilai-nilai Pancasila tersebut dalam masyarakat. Misalnya saja, masyarakat selalu bahu-membahu dalam ikut berpartisipasi membersihkan lingkungan, saling menolong, dan menjaga satu sama lain. Hal tersebut mengindikasikan bahwa nilai-nilai Pancasila telah terinternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Lalu, bagaimana dengan pemerintah? Sebagai penyelenggara negara, mereka seharusnya lebih mengerti dan memahami dalam pengaktualisasian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan. Mereka harus menjadi panutan bagi warga negara yang lain, agar masyarakat luas meyakini bahwa Pancasila itu hadir dalam setiap hembusan nafas bangsa ini. Demikian pula halnya dengan petugas pajak yang bertanggung jawab mengemban amanat untuk menghimpun dana bagi keberlangsungan pembangunan, mereka harus mampu menjadi panutan bagi warga negara lain, terutama dalam hal kejujuran sebagai pengejawantahan nilai-nilai Pancasila dari nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Nilai-nilainya hadir bukan hanya bagi mereka yang ada di pedesaan dengan keterbatasannya, melainkan juga orang-orang yang ada dalam pemerintahan yang notabene sebagai pemangku jabatan yang berwenang merumuskan kebijakan atas nama bersama. Hal tersebut sejalan dengan pokok pikiran ke-empat yang menuntut konsekuensi logis, yaitu Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh citacita moral rakyat yang luhur. Pokok pikiran ini juga mengandung pengertian takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pokok pikiran kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga mengandung maksud menjunjung tinggi hak asasi manusia yang luhur dan berbudi pekerti kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran ke-empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan asas moral bangsa dan negara (Bakry, 2010).
Menggali Sumber Yuridis, Historis, Sosiologis, dan Politis tentang Pancasila sebagai Dasar Negara
Dalam rangka menggali pemahaman Pancasila sebagai dasar negara, Anda akan dihadapkan pada berbagai sumber keterangan. Sumber-sumber tersebut meliputi sumber historis, sosiologis, dan politis. Berikut merupakan rincian dari sumber-sumber tersebut.
1. Sumber Yuridis Pancasila sebagai Dasar Negara
Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang kelahirannya ditempa dalam proses kebangsaan Indonesia. Melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai payung hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan dapat meredam konflik yang tidak produktif (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 89).
Peneguhan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana terdapat pada pembukaan, juga dimuat dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan ketetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Meskipun status ketetapan MPR tersebut saat ini sudah masuk dalam kategori ketetapan MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, 2013: 90).
Selain itu, juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, yaitu sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, 2013: 90-91).
2. Sumber Historis Pancasila sebagai Dasar Negara
Dalam sidang yang diselenggarakan untuk mempersiapkan Indonesia merdeka, Radjiman meminta kepada anggotanya untuk menentukan dasar negara. Sebelumnya, Muhammad Yamin dan Soepomo mengungkapkan pandangannya mengenai dasar negara. Kemudian dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyebut dasar negara dengan menggunakan bahasa Belanda, Philosophische grondslag bagi Indonesia merdeka. Philosophische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka. Soekarno juga menyebut dasar negara dengan istilah ‘Weltanschauung’ atau pandangan dunia (Bahar, Kusuma, dan Hudawaty, 1995: 63, 69, 81; dan Kusuma, 2004: 117, 121, 128, 129). Dapat diumpamakan, Pancasila merupakan dasar atau landasan tempat gedung Republik Indonesia itu didirikan (Soepardo dkk, 1962: 47).
Selain pengertian yang diungkapkan oleh Soekarno, “dasar negara” dapat disebut pula “ideologi negara”, seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta:
“Pembukaan UUD, karena memuat di dalamnya Pancasila sebagai ideologi negara, beserta dua pernyataan lainnya yang menjadi bimbingan pula bagi politik negeri seterusnya, dianggap sendi daripada hukum tata negara Indonesia. Undang-undang ialah pelaksanaan daripada pokok itu dengan Pancasila sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik negara dan perundang-undangan negara, supaya terdapat Indonesia merdeka seperti dicita-citakan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” (Hatta, 1977: 1; Lubis, 2006: 332).
Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag dari negara, ideologi negara, staatsidee. Dalam hal tersebut, Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur pemerintah negara. Atau dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara (Darmodiharjo, 1991: 19).
Dengan demikian, jelas kedudukan Pancasila itu sebagai dasar negara, Pancasila sebagai dasar negara dibentuk setelah menyerap berbagai pandangan yang berkembang secara demokratis dari para anggota BPUPKI dan PPKI sebagai representasi bangsa Indonesia (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 94). Pancasila dijadikan sebagai dasar negara, yaitu sewaktu ditetapkannya Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 pada 8 Agustus 1945. Pada mulanya, pembukaan direncanakan pada tanggal 22 Juni 1945, yang terkenal dengan Jakarta-charter (Piagam Jakarta), tetapi Pancasila telah lebih dahulu diusulkan sebagai dasar filsafat negara Indonesia merdeka yang akan didirikan, yaitu pada 1 Juni 1945, dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Notonagoro, 1994: 24). Terkait dengan hal tersebut, Mahfud MD (2009:14) menyatakan bahwa berdasarkan penjelajahan historis diketahui bahwa Pancasila yang berlaku sekarang merupakan hasil karya bersama dari berbagai aliran politik yang ada di BPUPKI, yang kemudian disempurnakan dan disahkan oleh PPKI pada saat negara didirikan. Lebih lanjut, Mahfud MD menyatakan bahwa ia bukan hasil karya Moh. Yamin ataupun Soekarno saja, melainkan hasil karya bersama sehingga tampil dalam bentuk, isi, dan filosofinya yang utuh seperti sekarang.
3. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Dasar Negara
Secara ringkas, Latif (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013) menguraikan pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila sebagai berikut.
Pertama, nilai-nilai ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertical transcendental) dianggap penting sebagai fundamental etika kehidupan bernegara. Negara menurut Pancasila diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan dapat memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan multikeyakinan, negara Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama, melindungi terhadap semua agama dan keyakinan serta dapat mengembangkan politiknya yang dipandu oleh nilainilai agama.
Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial (bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamental etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas mengarah pada persaudaraan dunia yang dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.
Ketiga, nilai-nilai etis kemanusiaan harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat, bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, melainkan juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahan masing-masing. Dalam khazanah Indonesia, hal tersebut menyerupai perspektif “etnosimbolis” yang memadukan antara perspektif “modernis” yang menekankan unsur-unsur kebaruan dalam kebangsaan dengan perspektif “primordialis” dan “perenialis” yang melihat unsur lama dalam kebangsaan.
Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam prinsip musyawarahmufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha, tetapi dipimpin oleh hikmat/ kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.
Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh artinya sejauh dalam mewujudkan keadilan sosial. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu dan peran manusia sebagai makhluk sosial, juga antara pemenuhan hak sipil, politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pandangan tersebut berlandaskan pada pemikiran Bierens de Haan (Soeprapto, Bahar dan Arianto, 1995: 124) yang menyatakan bahwa keadilan sosial setidak-tidaknya memberikan pengaruh pada usaha menemukan cita negara bagi bangsa Indonesia yang akan membentuk negara dengan struktur sosial asli Indonesia. Namun, struktur sosial modern mengikuti perkembangan dan tuntunan zaman sehingga dapatlah dimengerti apabila para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 berpendapat bahwa cita negara Indonesia (de Indonesische Staatsidee) haruslah berasal dan diambil dari cita paguyuban masyarakat Indonesia sendiri.
4. Sumber Politis Pancasila sebagai Dasar Negara
Mungkin Anda pernah mengkaji ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) dan di dalam Pasal 36A jo. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, terkandung makna bahwa Pancasila menjelma menjadi asas dalam sistem demokrasi konstitusional. Konsekuensinya, Pancasila menjadi landasan etik dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Selain itu, bagi warga negara yang berkiprah dalam suprastruktur politik (sektor pemerintah), yaitu lembaga-lembaga negara danlembaga-lembaga pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, Pancasila merupakan norma hukum dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Di sisi lain, bagi setiap warga negara yang berkiprah dalam infrastruktur politik (sektor masyarakat), seperti organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan media massa, maka Pancasila menjadi kaidah penuntun dalam setiap aktivitas sosial politiknya. Dengan demikian, sektor masyarakat akan berfungsi memberikan masukan yang baik kepada sektor pemerintah dalam sistem politik. Pada gilirannya, sektor pemerintah akan menghasilkan output politik berupa kebijakan yang memihak kepentingan rakyat dan diimplementasikan secara bertanggung jawab di bawah kontrol infrastruktur politik. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud clean government dan good governance demi terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan masyarakat yang makmur dalam keadilan (meminjam istilah mantan Wapres Umar Wirahadikusumah).
Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Dasar Negara
1. Argumen tentang Dinamika Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara lahir dan berkembang melalui suatu proses yang cukup panjang. Pada mulanya, adat istiadat dan agama menjadi kekuatan yang membentuk adanya pandangan hidup. Setelah Soekarno menggali kembali nilai-nilai luhur budaya Indonesia, pada 1 Juni 1945 barulah Pancasila disuarakan menjadi dasar negara yang diresmikan pada 18 Agustus 1945 dengan dimasukkannya sila-sila Pancasila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan bersumberkan budaya, adat istiadat, dan agama sebagai tonggaknya, nilai-nilai Pancasila diyakini kebenarannya dan senantiasa melekat dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia yang ditandai dengan dibacakannya teks proklamasi pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia sepakat pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Namun, sejak November 1945 sampai menjelang ditetapkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, pemerintah Indonesia mempraktikkan sistem demokrasi liberal.
Setelah dilaksanakan Dekrit Presiden, Indonesia kembali diganggu dengan munculnya paham lain. Pada saat itu, sistem demokrasi liberal ditinggalkan, perdebatan tentang dasar negara di Konstituante berakhir dan kedudukan Pancasila di perkuat, tetapi keadaan tersebut dimanfaatkan oleh mereka yang menghendaki berkembangnya paham haluan kiri (komunis). Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan G30S PKI 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno yang digantikan oleh pemerintahan Presiden Soeharto.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ditegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara akan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Menyusul kemudian diterbitkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Namun, pemerintahan Presiden Soeharto pun akhirnya dianggap menyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945. Beliau dianggap cenderung melakukan praktik liberalisme-kapitalisme dalam mengelola negara.
Pada tahun 1998 muncul gerakan reformasi yang mengakibatkan Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden. Namun, sampai saat ini nampaknya reformasi belum membawa angin segar bagi dihayati dan diamalkannya Pancasila secara konsekuen oleh seluruh elemen bangsa. Hal ini dapat dilihat dari abainya para politisi terhadap fatsoen politik yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan perilaku anarkis segelintir masyarakat yang suka memaksakan kehendak kepada pihak lain.
Pada tahun 2004 sampai sekarang, berkembang gerakan para akademisi dan pemerhati serta pencinta Pancasila yang kembali menyuarakan Pancasila sebagai dasar negara melalui berbagai kegiatan seminar dan kongres. Hal tersebut ditujukan untuk mengembalikan eksistensi Pancasila dan membudayakan nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa serta menegaskan Pancasila sebagai dasar negara guna menjadi sumber hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
2. Argumen tentang Tantangan terhadap Pancasila
Pada era globalisasi dewasa ini, banyak hal yang akan merusak mental dan nilai moral Pancasila yang menjadi kebanggaan bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, Indonesia perlu waspada dan berupaya agar ketahanan mental-ideologi bangsa Indonesia tidak tergerus. Pancasila harus senantiasa menjadi benteng moral dalam menjawab tantangan-tantangan terhadap unsur-unsur kehidupan bernegara, yaitu sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama.
Tantangan yang muncul, antara lain berasal dari derasnya arus paham-paham yang bersandar pada otoritas materi, seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, sekularisme, pragmatisme, dan hedonisme, yang menggerus kepribadian bangsa yang berkarakter nilai-nilai Pancasila. Hal inipun dapat dilihat dengan jelas, betapa paham-paham tersebut telah merasuk jauh dalam kehidupan bangsa Indonesia sehingga melupakan kultur bangsa Indonesia yang memiliki sifat religius, santun, dan gotong-royong.
Apabila ditarik benang merah terkait dengan tantangan yang melanda bangsa Indonesia sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- Dilihat dari kehidupan masyarakat, terjadi kegamangan dalam kehidupan bernegara dalam era reformasi ini karena perubahan sistem pemerintahan yang begitu cepat termasuk digulirkannya otonomi daerah yang seluasluasnya, di satu pihak, dan di pihak lain, masyarakat merasa bebas tanpa tuntutan nilai dan norma dalam kehidupan bernegara. Akibatnya, sering ditemukan perilaku anarkisme yang dilakukan oleh elemen masyarakat terhadap fasilitas publik dan aset milik masyarakat lainnya yang dipandang tidak cocok dengan paham yang dianutnya. Masyarakat menjadi beringas karena code of conduct yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila mengalami degradasi. Selain itu, kondisi euforia politik tersebut dapat memperlemah integrasi nasional. Dalam bidang pemerintahan, banyak muncul di ranah publik aparatur pemerintahan, baik sipil maupun militer yang kurang mencerminkan jiwa kenegarawanan. Terdapat fenomena perilaku aparatur yang aji mumpung atau mementingkan kepentingan kelompoknya saja. Hal tersebut perlu segera dicegah dengan cara meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan melakukan upaya secara masif serta sistematis dalam membudayakan nilai-nilai Pancasila bagi para aparatur negara.
- Tantangan terhadap Pancasila sebagaimana yang diuraikan di atas, hanya merupakan sebagian kecil saja karena tantangan terhadap Pancasila itu seperti fenomena gunung es, yang tidak terlihat lebih banyak dibandingkan yang muncul di permukaan. Hal ini menggambarkan bahwa upaya menjawab tantangan tersebut tidak mudah. Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat harus bahu-membahu merespon secara serius dan bertanggung jawab guna memperkokoh nilai-nilai Pancasila sebagai kaidah penuntun bagi setiap warga negara, baik bagi yang berkiprah di sektor masyarakat maupun di pemerintahan. Dengan demikian, integrasi nasional diharapkan semakin kokoh dan secara bertahap bangsa Indonesia dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan negara yang menjadi idaman seluruh lapisan masyarakat.
Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara
1. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara
a. Esensi Pancasila sebagai Dasar Negara
Sebagaimana dipahami bahwa Pancasila secara legal formal telah diterima dan ditetapkan menjadi dasar dan ideologi negara Indonesia sejak 18 Agustus 1945. Penerimaan Pancasila sebagai dasar negara merupakan milik bersama akan memudahkan semua stakeholder bangsa dalam membangun negara berdasar prinsip-prinsip konstitusional.
Mahfud M.D. (2009: 16--17) menegaskan bahwa penerimaan Pancasila sebagai dasar negara membawa konsekuensi diterima dan berlakunya kaidah-kaidah penuntun dalam pembuatan kebijakan negara, terutama dalam politik hukum nasional. Lebih lanjut, Mahfud M.D. menyatakan bahwa dari Pancasila dasar negara itulah lahir sekurang-kurangnya 4 kaidah penuntun dalam pembuatan politik hukum atau kebijakan negara lainnya, yaitu sebagai berikut:
- Kebijakan umum dan politik hukum harus tetap menjaga integrasi atau keutuhan bangsa, baik secara ideologi maupun secara teritori.
- Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (negara hukum) sekaligus.
- Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia bukanlah penganut liberalisme, melainkan secara ideologis menganut prismatika antara individualisme dan kolektivisme dengan titik berat pada kesejahteraan umum dan keadilan sosial.
- Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang berkeadaban. Indonesia bukan negara agama sehingga tidak boleh melahirkan kebijakan atau politik hukum yang berdasar atau didominasi oleh satu agama tertentu atas nama apapun, tetapi Indonesia juga bukan negara sekuler yang hampa agama sehingga setiap kebijakan atau politik hukumnya haruslah dijiwai oleh ajaran berbagai agama yang bertujuan mulia bagi kemanusiaan.
Pancasila sebagai dasar negara menurut pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Di sisi lain, pada penjelasan pasal 2 tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pancasila adalah substansi esensial yang mendapatkan kedudukan formal yuridis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, rumusan Pancasila sebagai dasar negara adalah sebagaimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perumusan Pancasila yang menyimpang dari pembukaan secara jelas merupakan perubahan secara tidak sah atas Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Kaelan, 2000: 91-92).
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dapat dirinci sebagai berikut:
- Pancasila sebagai dasar negara adalah sumber dari segala sumber tertib hukum Indonesia. Dengan demikian, Pancasila merupakan asas kerohanian hukum Indonesia yang dalam Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok pikiran.
- Meliputi suasana kebatinan (Geislichenhintergrund) dari UUD 1945.
- Mewujudkan cita-cita hukum bagi dasar negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis).
- Mengandung norma yang mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara (termasuk penyelenggara partai dan golongan fungsional) memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
- Merupakan sumber semangat abadi UUD 1945 bagi penyelenggaraan negara, para pelaksana pemerintahan. Hal tersebut dapat dipahami karena semangat tersebut adalah penting bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara karena masyarakat senantiasa tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat (Kaelan, 2000: 198-199)
Rumusan Pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan consensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, 2013: 88).
b. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara
Soekarno melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia secara ringkas tetapi meyakinkan, sebagai berikut:
Pancasila adalah Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat pemersatu bangsa yang juga pada hakikatnya satu alat mempersatukan dalam perjuangan melenyapkan segala penyakit yang telah dilawan berpuluh-puluh tahun, yaitu terutama imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara perjuangan sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena itu, pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kenyataannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, 2013: 94-95).
Untuk memahami urgensi Pancasila sebagai dasar negara, dapat menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu institusional (kelembagaan) dan human resourses (personal/sumber daya manusia). Pendekatan institusional yaitu membentuk dan menyelenggarakan negara yang bersumber pada nilainilai Pancasila sehingga negara Indonesia memenuhi unsur-unsur sebagai negara modern, yang menjamin terwujudnya tujuan negara atau terpenuhinya kepentingan nasional (national interest), yang bermuara pada terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Sementara, human resourses terletak pada dua aspek, yaitu orang-orang yang memegang jabatan dalam pemerintahan (aparatur negara) yang melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen di dalam pemenuhan tugas dan tanggung jawabnya sehingga formulasi kebijakan negara akan menghasilkan kebijakan yang mengejawantahkan kepentingan rakyat. Demikian pula halnya pada tahap implementasi yang harus selalu memperhatikan prinsip-prinsip good governance, antara lain transparan, akuntabel, dan fairness sehingga akan terhindar dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme); dan warga negara yang berkiprah dalam bidang bisnis, harus menjadikan Pancasila sebagai sumber nilai-nilai etika bisnis yang menghindarkan warga negara melakukan free fight liberalism, tidak terjadi monopoli dan monopsoni; serta warga negara yang bergerak dalam bidang organisasi kemasyarakatan dan bidang politik (infrastruktur politik). Dalam kehidupan kemasyarakatan, baik dalam bidang sosial maupun bidang politik seyogyanya nilai-nilai Pancasila selalu dijadikan kaidah penuntun. Dengan demikian, Pancasila akan menjadi fatsoen atau etika politik yang mengarahkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam suasana kehidupan yang harmonis.
Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari sumber hukum sudah selayaknya menjadi ruh dari berbagai peraturan yang ada di Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditegaskan dalam alinea keempat terdapat kata “berdasarkan” yang berarti, Pancasila merupakan dasar negara kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna bahwa nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan dan pedoman dalam membentuk dan menyelenggarakan negara, termasuk menjadi sumber dan pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti perilaku para penyelenggara negara dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah negara, harus sesuai dengan perundang-undangan yang mencerminkan nilainilai Pancasila.
Apabila nilai-nilai Pancasila diamalkan secara konsisten, baik oleh penyelenggara negara maupun seluruh warga negara, maka akan terwujud tata kelola pemerintahan yang baik. Pada gilirannya, cita-cita dan tujuan negara dapat diwujudkan secara bertahap dan berkesinambungan.
2. Hubungan Pancasila dengan Proklamasi Kemerdekaan RI
Pada hakikatnya, Proklamasi 17 Agustus 1945 bukanlah merupakan tujuan semata-mata, melainkan merupakan suatu sarana, isi, dan arti yang pada pokoknya memuat dua hal, sebagai berikut:
- Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, baik pada dirinya sendiri maupun terhadap dunia luar;
- Tindakan-tindakan yang segera harus diselenggarakan berhubung dengan pernyataan kemerdekaan itu (Kaelan, 1993: 62).
Setelah proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, kemudian keesokan harinya, yaitu 18 Agustus 1945, disusun suatu naskah Undang-Undang Dasar yang didalamnya memuat Pembukaan. Di dalam Pembukaan UUD 1945 tepatnya pada alinea ke-3 terdapat pernyataan kemerdekaan yang dinyatakan oleh Indonesia, maka dapat ditentukan letak dan sifat hubungan antara Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut:
- Disebutkan kembali pernyataan kemerdekaan dalam bagian ketiga Pembukaan menunjukkan bahwa antara Proklamasi dengan Pembukaan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan;
- Ditetapkannya Pembukaan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama ditetapkannya UUD, Presiden dan Wakil Presiden merupakan realisasi bagian kedua Proklamasi;
- Pembukaan hakikatnya merupakan pernyataan kemerdekaan yang lebih rinci dari adanya cita-cita luhur yang menjadi semangat pendorong ditegakkannya kemerdekaan, dalam bentuk negara Indonesia merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur dengan berdasarkan asas kerohanian Pancasila;
- Dengan demikian, sifat hubungan antara Pembukaan dan Proklamasi, yaitu: memberikan penjelasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi pada 17 Agustus 1945, memberikan penegasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945, dan memberikan pertanggungjawaban terhadap dilaksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945 (Kaelan, 1993: 62-64).
3. Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945
Notonagoro (1982:24-26) menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar tidak merupakan peraturan hukum yang tertinggi. Di atasnya, masih ada dasardasar pokok bagi Undang-Undang Dasar, yang dinamakan pokok kaidah negara yang fundamental (staatsfundamentalnorm). Lebih lanjut, Notonagoro menjelaskan bahwa secara ilmiah kaidah negara yang fundamental mengandung beberapa unsur mutlak, yang dapat dilihat dari dua segi. Pandangan Notonagoro tentang unsur mutlak tersebut secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut:
Berdasarkan paradigma berpikir tersebut, maka Pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat unsur mutlak staatsfundamentalnorm, yang tergambar dalam skema berikut ini:
Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
- Pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat unsur mutlak sebagai staatsfundamentalnorm. Oleh karena itu, kedudukan Pembukaan merupakan peraturan hukum yang tertinggi di atas Undang-Undang Dasar. Implikasinya, semua peraturan perundang-undangan dimulai dari pasal-pasal dalam UUD 1945 sampai dengan Peraturan Daerah harus sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.
- Pancasila merupakan asas kerohanian dari Pembukaan UUD1945 sebagai staatsfundamentalnorm. Secara ilmiah-akademis, Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnormmempunyai hakikat kedudukan yang tetap, kuat, dan tak berubah bagi negara yang dibentuk, dengan perkataan lain, jalan hukum tidak lagi dapat diubah (Notonagoro, 1982: 25).
Dalam kaitan itu, silakan disimak ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) sampai ayat (5) UUD 1945 pasca amandemen ke-4, dalam Pasal 37 tersebut hanya memuat ketentuan perubahan pasal-pasal dalam UUD 1945, tidak memuat ketentuan untuk mengubah Pembukaan UUD 1945. Hal ini dapat dipahami karena wakil-wakil bangsa Indonesia yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat memahami kaidah ilmiah, terkait kedudukan Pembukaan UUD 1945 yang sifatnya permanen sehingga mereka mengartikulasikan kehendak rakyat yang tidak berkehendak mengubah Pembukaan UUD 1945.
4. Penjabaran Pancasila dalam Pasal-Pasal UUD NRI 1945
Benarkah pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia itu berhubungan dengan Pancasila? Mari cermati bahasan berikut! (Anda dapat membaca kembali contoh hubungan dasar negara dengan bentuk negara pada uraian terdahulu)
Anda tentu mengetahui bahwa setelah Amandemen atau Perubahan ke-4 (dalam 2002), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal (lihat Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945). Hal ini berarti bahwa Penjelasan UUD 1945 sudah tidak lagi menjadi bagian dari ketentuan dalam UUD 1945. Meskipun Penjelasan UUD 1945 sudah bukan merupakan hukum positif, tetapi penjelasan yang bersifat normatif sudah dimuat dalam pasal-pasal UUD 1945. Selain itu, dalam tataran tertentu penjelasan UUD 1945 dapat menjadi inspirasi dalam kehidupan bernegara bagi warga negara. Terkait dengan penjabaran Pancasila dalam pasal-pasal UUD 1945, silahkan Anda simak bunyi penjelasan UUD 1945, sebagai berikut.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang- Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.”
Pola pemikiran dalam pokok-pokok pikiran Penjelasan UUD 1945 tersebut, merupakan penjelmaan dari Pembukaan UUD 1945, Pancasila merupakan asas kerohanian dari Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm. Apabila disederhanakan, maka pola pemikiran tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
- Pancasila merupakan asas kerohanian dari Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm.
- Pembukaan UUD 1945 dikristalisasikan dalam wujud Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
- Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 terjelma dalam pasal-pasal UUD 1945.
Dalam kaitannya dengan penjabaran Pancasila dalam pasal-pasal UUD 1945, perlu Anda ingat kembali uraian terdahulu yang mengemukakan prinsip bahwa Pancasila merupakan nilai dasar yang sifatnya permanen dalam arti secara ilmiah-akademis, terutama menurut ilmu hukum, tidak dapat diubah karena merupakan asas kerohanian atau nilai inti dari Pembukaan UUD 1945 sebagai kaidah negara yang fundamental. Untuk mengimplementasikan nilainilai dasar Pancasila dalam kehidupan praksis bernegara, diperlukan nilai-nilai instrumental yang berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan nilai dasar. Adapun nilai instrumental dari Pancasila sebagai nilai dasar adalah pasal-pasal dalam UUD 1945. Oleh karena itu, kedudukan pasal-pasal berbeda dengan kedudukan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Implikasinya pasal-pasal dalam UUD 1945 tidak bersifat permanen, artinya dapat diubah berdasarkan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD 1945.
Perlu juga Anda pahami bahwa setiap pasal dalam UUD 1945 tidak sepenuhnya mengejawantahkan nilai dari suatu sila dalam Pancasila secara utuh. Di sisi lain, suatu pasal dalam UUD 1945 dapat mencerminkan sebagian nilai yang terkait dengan beberapa sila dalam Pancasila. Hal tersebut dapat dipahami karena pasal-pasal UUD 1945 sebagai nilai instrumental dapat terkait dengan satu bidang kehidupan atau terkait dengan beberapa bidang kehidupan bangsa secara integral. Di sisi lain, nilai-nilai Pancasila antara nilai sila 1 dengan nilai sila lainnya tidak terpisah-pisah, melainkan merupakan suatu kesatuan yang utuh dan harmonis.
Beberapa contoh pejabaran Pancasila dalam pasal-pasal UUD 1945 dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel III.7 Penjabaran Pancasila dalam Pasal-Pasal UUD 1945
No | Nilai Dasar (Pancasila) | Nilai Instrumental (Pasal-Pasal dalam UUD 1945) |
---|---|---|
1. | Nilai Sila 1 | Pasal 28E ayat (1), Pasal 29, dan pasal lain |
2. | Nilai Sila 2 | Pasal 1 ayat (3), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28F, 28J, dan pasal lain |
3. | Nilai Sila 3 | Pasal 25A, Pasal 27 ayat (3), Pasal 30 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan pasal lain |
4. | Nilai Sila 4 | Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, Pasal 19, Pasal 22C, Pasal 22E, dan pasal lain |
5. | Nilai Sila 5 | Pasal 23, Pasal 28H, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan pasal lainnya. |
5. Implementasi Pancasila dalam Perumusan Kebijakan
Berdasarkan uraian tersebut, diketahui bahwa konsep implementasi Pancasila dalam perumusan kebijakan pada berbagai bidang kehidupan negara. Sudah barang tentu konsep-konsep yang diuraikan berikut ini bukan merupakan konsep yang mutlak, melainkan merupakan konsep dasar sebagai bahan diskusi.
a. Bidang Politik
Pernahkah Anda lihat rapat Rukun Warga di tempat tinggal Anda? Apa yang biasanya terjadi dalam rapat tersebut? Pasti Anda melihat sekumpulan orang atau beberapa orang yang berkumpul dan membicarakan masalah yang dihadapi daerahnya dengan musyawarah. Seperti itulah implementasi Pancasila dalam perumusan kebijakan politik terjadi di lingkungan tempat tinggal. Mereka merumuskan kebijakan bukan dengan suara terbanyak, melainkan saling memberi dan saling menerima argumen dari peserta musyawarah. Dengan demikian, kepentingan masyarakat secara keseluruhan akan lebih diutamakan dalam kebijakan yang dirumuskan.
Implementasi Pancasila dalam perumusan kebijakan pada bidang politik dapat ditransformasikan melalui sistem politik yang bertumpu kepada asas kedaulatan rakyat berdasarkan konstitusi, mengacu pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Implementasi asas kedaulatan rakyat dalam sistem politik Indonesia, baik pada sektor suprastruktur maupun infrastruktur politik, dibatasi oleh konstitusi. Hal inilah yang menjadi hakikat dari konstitusionalisme, yang menempatkan wewenang semua komponen dalam sistem politik diatur dan dibatasi oleh UUD, dengan maksud agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh siapapun. Dengan demikian, pejabat publik akan terhindar dari perilaku sewenang-wenang dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik, dan sektor masyarakat pun akan terhindar dari perbuatan anarkis dalam memperjuangkan haknya.
Beberapa konsep dasar implementasi nilai-nilai Pancasila dalam bidang politik, dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Sektor Suprastruktur Politik, Adapun yang dimaksud suprastruktur politik adalah semua lembaga-lembaga pemerintahan, seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga pemerintah lainnya baik di pusat maupun di daerah. Semua lembaga pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai batas kewenangan yang ditentukan dalam UUD dan peraturan perundang-undangan lainnya. Lembaga-lembaga pemerintah tersebut berfungsi memformulasikan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan publik dalam batas kewenangan masing-masing. Kebijakan publik tersebut harus mengakomodasi input atau aspirasi masyarakat (melalui infrastruktur politik) sesuai mekanisme atau prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam menentukan substansi, prosedur formulasi, dan implementasi kebijakan publik, semua lembaga pemerintah harus bertumpu pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Di samping substansi, kebijakan publik tersebut harus merupakan terjemahan atau mengartikulasikan kepentingan masyarakat, pemerintah juga harus melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.
2. Sektor Masyarakat, Pada uraian terdahulu, telah dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan infrastruktur politik, yaitu lembaga-lembaga sosial politik, seperti oganisasi kemasyarakatan, partai politik, dan media massa. Dalam sistem politik, infrastruktur politik tersebut berfungsi memberikan masukan kepada suprastruktur politik dalam menghasilkan kebijakan publik yang menyangkut kepentingan umum. Fungsi memberikan masukan tersebut mendorong infrastruktur berperan sebagai interest group dan/atau pressure group. Dapat dibayangkan apabila dalam proses tersebut tidak ada aturan main, maka akan timbul chaos atau kekacauan di masyarakat. Dalam kondisi seperti itulah, diperlukan kaidah penuntun yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila agar dalam proses tersebut tetap terjaga semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Nilai-nilai Pancasila akan menuntun masyarakat ke pusat inti kesadaran akan pentingnya harmoni dalam kontinum antara sadar terhadap hak asasinya di satu sisi dan kesadaran terhadap kewajiban asasinya di sisi lain sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28 J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Indikator bahwa seseorang bertindak dalam koridor nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara adalah sejauh perilakunya tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Bidang Ekonomi
Apakah Anda masih melihat koperasi di daerah sekitar tempat tinggal Anda? Apakah koperasi sebagai badan usaha masih berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Apakah Anda tertarik untuk mendirikan atau masuk menjadi anggota koperasi? Memang bentuk badan usaha dalam sistem ekonomi nasional bukan hanya koperasi, melainkan juga ada bentuk badan usaha milik perseorangan atau swasta, dan badan usaha milik negara. Ketiga bentuk badan usaha tersebut diakui keberadaannya bahkan menempati posisi yang sama pentingnya dalam meningkatkan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, bentuk badan usaha koperasi terkesan mendapat perhatian yang lebih besar berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Padahal, apabila dicermati ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2), maka terasa bahwa bentuk badan usaha milik swasta juga menempati kedudukan yang strategis dalam meningkatkan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, apabila dicermati ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, maka Badan Usaha Milik Negara juga menempati posisi yang strategis dalam meningkatkan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, mengacu kepada ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UUD 1945, negara Indonesia berkewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial, memberdayakan masyarakat yang lemah, serta memelihara kelompok marginal, khususnya fakir miskin dan anak terlantar.
Mungkin dalam pemikiran Anda terbersit bahwa ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) terasa paradoks dengan ketentuan dalam Pasal 33 khususnya ayat (1), (2), (3), dan ayat (4). Kedua prinsip dalam 2 Pasal tersebut ibarat kontinum dari kiri (sosialisme) ke kanan (kapitalisme/liberalisme), yang di tengahnya ada titik keseimbangan. Titik keseimbangan tersebut akan ditentukan oleh DPR bersama Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Inti dari ketentuan dalam Pasal tersebut adalah bahwa APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Spirit yang terkandung dalam Pasal 33, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), serta Pasal 34 UUD 1945 adalah ekspresi dari jiwa nilainilai Pancasila sebagai dasar negara dalam bidang ekonomi. Keberadaan ketiga bentuk badan usaha di samping usaha perseorangan, yaitu Badan Usaha Milik Perseorangan/Swasta, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Negara merupakan cerminan kepribadian manusia Indonesia yang terpancar terutama dari nilai sila ke-lima yang lebih bertumpu pada sosialitas dan sila ke-dua yang lebih bertumpu pada individualitas terkait sistem perekonomian nasional. Sudah barang tentu, prinsip-prinsip nilai sila ke-lima dan sila ke-dua dalam sistem perekonomian tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai sila lainnya dalam Pancasila.
Sebagai bahan pembanding atas uraian tersebut, berikut ini adalah pandangan Mubyarto dalam Oesman dan Alfian (1993: 240--241) mengenai 5 prinsip pembangunan ekonomi yang mengacu kepada nilai Pancasila, yaitu sebagai berikut:
- Ketuhanan Yang Maha Esa, roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
- Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, ada kehendak kuat dari seluruh masyarakat untuk mewujudkan pemerataan sosial (egalitarian), sesuai asas-asas kemanusiaan;
- Persatuan Indonesia, prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh. Hal ini berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi;
- Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan merupakan bentuk saling konkrit dari usaha bersama;
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dan desentralisasi dalam pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi untuk mencapai keadilan ekonomi dan keadilan sosial.
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dalam bidang ekonomi mengidealisasikan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi nasional harus bertumpu kepada asasasas keselarasan, keserasian, dan keseimbangan peran perseorangan, perusahaan swasta, badan usaha milik negara, dalam implementasi kebijakan ekonomi. Selain itu, negara juga harus mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah termasuk fakir miskin dan anak terlantar, sesuai dengan martabat kemanusiaan sebagaimana diamanatkan Pasal 34 ayat (1) sampai dengan ayat (4) UUD 1945. Kebijakan ekonomi nasional tersebut tidak akan terwujud jika tidak didukung oleh dana pembangunan yang besar. Dana pembangunan diperoleh dari kontribusi masyarakat melalui pembayaran pajak. Pajak merupakan bentuk distribusi kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin, sehingga pada hakikatnya pajak itu dari rakyat untuk rakyat.
c. Bidang Sosial Budaya
Apakah Anda pernah mencoba menyapu halaman rumah dengan menggunakan satu lidi? Bagaimana kalau lidi itu banyak, kemudian diikat dalam satu ikatan? Bagaimana hasilnya, apakah cepat yang satu lidi atau seikat lidi? Pertanyaan di atas merupakan dasar berpijak masyarakat yang dibangun dengan nilai persatuan dan kesatuan. Bahkan, kemerdekaan Indonesia pun terwujud karena adanya persatuan dan kesatuan bangsa.
Sejatinya, masyarakat Indonesia memiliki karakter hidup bergotong royong sebagaimana disampaikan oleh Bung Karno dalam pidatonya 1 Juni 1945. Namun akhir-akhir ini, semangat kegotongroyongan di kalangan masyarakat menunjukkan gejala semakin luntur. Rasa persatuan dan kesatuan bangsa tergerus oleh tantangan arus globalisasi yang bermuatan nilai individualistik dan materialistik. Apabila hal ini tidak segera dicegah, bukan tidak mungkin jati diri bangsa akan semakin terancam. Mengingat karakter masyarakat Indonesia yang berbhinneka tunggal ika sebagaimana disebutkan dalam Pasal 36 A UUD 1945. Hal tersebut mengisyaratkan kepada segenap komponen bangsa agar berpikir konstruktif, yaitu memandang kebhinnekaan masyarakat sebagai kekuatan bukan sebagai kelemahan, apalagi dianggap sebagai faktor disintegratif, tanpa menghilangkan kewaspadaan upaya pecah belah dari pihak asing.
Strategi yang harus dilaksanakan pemerintah dalam memperkokoh kesatuan dan persatuan melalui pembangunan sosial-budaya, ditentukan dalam Pasal 31 ayat (5) dan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 31 ayat (5) UUD 1945, disebutkan bahwa “ Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilainilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Di sisi lain, menurut Pasal 32 ayat (1) UUD 1945, dinyatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Sejalan dengan hal itu, menurut Pasal 32 ayat (3) UUD 1945, ditentukan bahwa “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”
Nilai-nilai instrumental Pancasila dalam memperkokoh keutuhan atau integrasi nasional sebagaimana tersebut di atas, sejalan dengan pandangan ahli sosiologi dan antropologi, yakni Selo Soemardjan dalam Oesman dan Alfian (1993:172) bahwa kebudayaan suatu masyarakat dapat berkembang. Mungkin perkembangannya berjalan lambat, seperti terjadi dalam masyarakat pedesaan yang kurang sarana untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat lain. Mungkin juga perkembangan tersebut berjalan cepat, bahkan sering terlampau cepat, seperti yang terjadi pada masyarakat kota. Perkembangan budaya itu terdorong oleh aspirasi masyarakat dengan bantuan teknologi. Hanya untuk sebagian saja perkembangan kebudayaan itu dipengaruhi oleh negara. Dapat dikatakan, bahwa terdapat hubungan yang saling memengaruhi antara masyarakat dengan kebudayaannya pada satu pihak dan negara dengan sistem kenegaraannya pada pihak lain. Apabila kebudayaan masyarakat dan sistem kenegaraan diwarnai oleh jiwa yang sama, maka masyarakat dan negara itu dapat hidup dengan jaya dan bahagia. Akan tetapi, apabila antara kedua unsur itu ada perbedaan, bahkan mungkin bertentangan, kedua-duanya akan selalu menderita, frustrasi, dan rasa tegang.
Dengan demikian, semua kebijakan sosial budaya yang harus dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia harus menekankan rasa kebersamaan dan semangat kegotongroyongan karena gotong royong merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang konstruktif sehingga budaya tersebut harus dikembangkan dalam konteks kekinian.
d. Bidang Hankam
Anda sudah akrab dengan istilah bela negara, istilah pertahanan, dan istilah keamanan negara. Ketiga istilah tersebut terkait dengan pembahasan mengenai implementasi Pancasila dalam bidang pertahanan keamanan negara. Anda juga sudah paham bahwa berbicara tentang hal tersebut, sudah barang tentu harus terkait dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1), (2), (3), (4), dan ayat (5) UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Bagi Anda sebagai warga negara yang baik, bela negara bukan hanya dilihat sebagai kewajiban, melainkan juga merupakan kehormatan dari negara. Bela negara dapat didefinisikan sebagai segala sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada tanah air dan bangsa, dalam menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan Pancasila guna mewujudkan tujuan nasional. Wujud keikutsertaan warga negara dalam bela negara dalam keadaan damai banyak bentuknya, aplikasi jiwa pengabdian sesuai profesi pun termasuk bela negara. Semua profesi merupakan medan juang bagi warga negara dalam bela negara sepanjang dijiwai semangat pengabdian dengan dasar kecintaan kepada tanah air dan bangsa. Hal ini berarti pahlawan tidak hanya dapat lahir melalui perjuangan fisik dalam peperangan membela kehormatan bangsa dan negara, tetapi juga pahlawan dapat lahir dari segala kegiatan profesional warga negara. Misalnya, dalam bidang pendidikan dapat lahir pahlawan pendidikan, dalam bidang olah raga dikenal istilah pahlawan olah raga, demikian pula dalam bidang ekonomi, teknologi, kedokteran, pertanian, dan lain-lain dapat lahir pahlawan-pahlawan nasional. Demikian pula halnya dengan pembayar pajak, mereka juga pahlawan karena mereka rela menyerahkan sebagian dari penghasilan dan kekayaannya untuk membantu Negara membiayai pembangunan, seperti: pembangunan jalan/jembatan, pembayaran gaji TNI/POLRI serta penyediaan program pembangunan yang pro masyarakat miskin berupa subsidi, dan sebagainya.
Bela negara dalam konteks khusus perjuangan fisik, terkait dengan istilah pertahanan dan keamanan. Upaya pembangunan pertahanan adalah daya upaya bangsa dalam membangun dan menggunakan kekuatan nasional untuk mengatasi ancaman dari luar negeri dan ancaman lainnya yang dapat mengganggu integritas nasional. Adapun yang dimaksud dengan pembangunan bidang keamanan adalah daya upaya bangsa dalam membangun dan menggunakan kekuatan nasional untuk mengatasi ancaman dari dalam negeri serta ancaman terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum.
Sebagaimana dikemukakan pada uraian di atas, bahwa implementasi nilainilai Pancasila dalam bidang pertahanan dan keamanan, terkait dengan nilainilai instrumental sebagaimana terkandung dalam Pasal 30 ayat (1), (2), (3), (4), dan ayat (5) UUD 1945. Prinsip-prinsip yang merupakan nilai instrumental Pancasila dalam bidang pertahanan dan keamanan sebagaimana terkandung dalam Pasal 30 UUD 1945 dapat dikemukakan sebagai berikut:
- Kedudukan warga negara dalam pertahanan dan keamanan Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.
- Sistem pertahanan dan keamanan Adapun sistem pertahanan dan keamanan yang dianut adalah sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang lazim disingkat Sishankamrata. Dalam Sishankamrata, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan kekuatan utama, sedangkan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
- Tugas pokok TNI TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sebagai alat negara dengan tugas pokok mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara.
- Tugas pokok POLRI POLRI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat masyarakat, mempunyai tugas pokok melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kelangsungan hidup bangsa dan negara bukan hanya tanggung jawab TNI dan POLRI, melainkan juga merupakan tanggung jawab seluruh warga negara, tidak terkecuali Anda. Bukankah Anda sepakat bahwa asas politik negara Indonesia adalah kedaulatan rakyat yang dapat dimaknai bahwa negara Indonesia milik seluruh warga negara, termasuk Anda. Ibaratnya,negara Indonesia adalah rumah Anda, siapakah yang bertanggung jawab menjaga keselamatan rumah dengan segala isinya, sudah barang tentu Anda sepakat bahwa yang bertanggung jawab adalah seluruh pemilik rumah tersebut. Berdasarkan analogi rumah tersebut, maka logis apabila seluruh warga negara merasa bertanggung jawab dalam bidang pertahanan dan keamanan negara.
Rangkuman tentang Makna dan Pentingnya Pancasila sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara berarti setiap sendi-sendi ketatanegaraan pada negara Republik Indonesia harus berlandaskan dan/atau harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hal tersebut bermakna, antara lain bahwa, Pancasila harus senantiasa menjadi ruh atau spirit yang menjiwai kegiatan membentuk negara seperti kegiatan mengamandemen UUD dan menjiwai segala urusan penyelenggaraan negara.
Urgensi Pancasila sebagai dasar negara, yaitu: 1) agar para pejabat publik dalam menyelenggarakan negara tidak kehilangan arah, dan 2) agar partisipasi aktif seluruh warga negara dalam proses pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, pada gilirannya nanti cita-cita dan tujuan negara dapat diwujudkan sehingga secara bertahap dapat diwujudkan masyarakat yang makmur dalam keadilan dan masyarakat yang adil dalam kemakmuran.
0 Response to "BAB III Pendidikan Pancasila"
Post a Comment
√ Komentar anda adalah motivasi kami!
√ Untuk menyisipkan code gunakan
<i rel="code">Tuliskan Code</i>
√ Untuk menyisipkan gambar gunakan
<i rel="image">URL Gambar</i>
√ Untuk menyisipkan catatan gunakan
<b rel="quote">Tuliskan Catatan Anda</b>
√ Centang Notify me untuk mendapatkan notifikasi balasan komentar melalui Email